Jumat, 10 Juni 2016

Ringkasan Sejarah Kerajaan Safawi, Persia: Fanatisme berujung kehancuran



I.                   Persia Gambaran Umum Sebelum Berdiri.
Kekhanan[1] telah menjadi suatu hal dari masa silam. Seluruh wilayah Timur Tengah terbagi menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Tidak ada kekuasaan muslim yang besar pada waktu itu di dunia. Oleh karena itu, dibutuhkan pejuang besar dan suatu kerajaan yang kuat. Tentunya tidak hanya pejuang seorang diri, tetapi dalam bentuk pasukan. Pada masa itu anak benua India terbagi ke dalam kerajaan-kerajaan kecil. Begitu pula keadaan di Afrika. Berkat karunia Allah, seorang pejuang yang dibutuhkan datang ke dunia, yang terkenal dengan
nama Timur, seorang keturunan Chunghtai Khan, salah seorang anak Jengis Khan yang telah mewarisi Asia Tengah sebagai kekhanannya dari imperium raksasa bangsa Mongol yang besar. Timur berhasil menaklukkan Chunghtai Khan tahun 1369 M, Samarkand, wilayah-wilayah Transoxiania selebihnya[2]. Timur merupakan administrator yang handal dan penakluk handal yang tertulis di dalam sejarah dunia. Seperti sudah medarah daging dan juga telah mengikuti tradisi bangsa sebelumnya (baca: era Timur), kerajaan Safawiyah seolah melanjutkan semangat juang dari seorang Timur pada saat masa transisi[3] pasca kehancuran Baghdad di tangan bangsa Mongol. Safawi meraih tahta dengan cara yang tidak biasa pula, mereka berpulang kepada sebuah persaudaraan sufi yang terbentuk setelah letusan Mongol, terbentuk di utara Persia. Kerajaan ini pula yang menghambat Utsmani dalam perluasannya ke arah timur[4].
 gambar peta diambil dari wikipedia

A.    Keadaan Persia Sebelum Runtuh Sampai Menuju Keruntuhan
Bangsa Safawiah dari segi pemikiran, ada yang mengatakan Safawiah adalah berasal dari sekte ada pula yang mengatakan berasal dari tarekat (Thariqat). Sebagian mengatakan bahwa Safawiah berasal dari sekte, sekte[5] yang dimaksud merupakan  sekte Syi’ah[6], sedangkan yang mengatakan bahwa Safawi adalah berasal dari tarekat, yang dimaksudkan adalah tarekat yang berdiri di Ardabil[7], dimana tarekat tersebut dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Saifuddin Ishak al-Ardabily (w.1252 M), orang yang memelajari kehidupan sufi, beliau dikenal sebagai orang yang taat melakukan kegiatan keagamaan dengan dunia tasawuf. Ditambah Saifuddin Ishak al-Ardabily itu sendiri juga belajar langsung dengan guru sufi yang bernama Syekh Tajuddin Ibrahim Zahidi (w. 1301 M), atau julukannya Zahid al-Ghilani[8].
            Keberadaan Saifuddin yang termasyhur nasabnya tidak begitu jelas, ada yang menyebutkan bahwa ia adalah Syi’ah keturunan Musa al-Kadzim, imam ketujuh, yang berarti keturunan Rasullah dari Fatimah. Ada juga yang mengatakan dia adalah keturunan penduduk asli Iran dari Kurdistan seorang Sunni Madzhab Syafi’I, yang konon pengganti yang kedua berganti Syi’ah. Artinya tarekat Safawiah tidak sepenuhnya berawal dari Syi’ah, namun berawal dari ajaran sunni, sebagaimana dikemukakan oleh para ahli sejarah bahwa fase pertama gerakan Safawi mempunyai dua corak yaitu sunni pada masa kepemimpinan Saifuddin (1301-1334 M)  dan anaknya, Sadruddin Musa (1334-1399 M), serta corak Syi’ah pada masa kepemimpinan cucu Saifuddin yang bernama Khawaja Ali (1399-1427 M), dan pada masa Ibrahim (1427-1447 M)[9]. Dapat dikatakan pula terjadi pergeseran pada generasi ketiga, golongan-golongan yang pro-Syi’ah semakin terbuka dalam menjadikan ini tarekat, dan semakin menemukan kekuatannya.

B.     Transisi Gerakan Syi’ah dari Gerakan Tarekat Hingga Menjadi Gerakan Politik
Syi’ah sebagai gerakan tarekat yang pada mulanya, kini berubah menjadi gerakan politik. Syiah juga pada awalnya (baca: fase awal) tidak tertarik dengan dunia politik, kini menjelma menjadi gerakan politik yang masif. Sebelum menjadi gerakan politik, Safawiah merupakan gerakan tasawuf yang memerangi orang-orang ingkar atau yang mereka sebut ahlul bid’ah[10]. Sebagian golongan yang yang memiliki fanatisme terhadap ajaran tarekat, yang melatar-belakangi munculnya rasa politisasi dari golongan yang ingin berkuasa. Dari sinilah terjadi transisi antara tarekat Syi’ah menjadi gerakan politik Syi’ah, mereka terbangun menjadi pasukan, golongan, fanatisme dalam kepercayaan yang berakibat pula pada perilaku, yakni menentang golongan selain Syi’ah. Menurut sejarawan muslim, Tamim Ansary, pada pertengahan abad ke-15, Safawi memeluk kepercayaan ini dengan berciri khas topi merah Qizilbash[11]. Fanatisme tidak sekadar fanatisme, menganggap pemimpin mereka sebagai sesuatu yang lebih dari yang lain itu sudah hal yang di luar kebiasaan. Sebagaimana yang dipahami oleh kaum Syi’ah yang menganggap khalifah dan sultan bukan satu-satunya gelar otoritas universal  tetapi juga imam. Menurut mereka selalu ada satu imam di dunia, dan imam sejati sebuah zaman selalu diturunkan dari Nabi Muhammad melalui putrinya Fathimah dan suaminya Ali, belum lagi ada doktrin yang menganggap mereka memiliki imam urutan kedua belas yang merupakan  imam ghaib[12].
Yang dianggap sebagai pelopor gerakan tasawuf menjadi suatu kerajaan adalah Ismail bin Haidar yang  lahir tahun 1487 M, pada usia 15 tahun ia memproklamirkan diri sebagai raja besar Iran dan pembela Madzhab Syi’ah (sejak itu diresmikan)[13]. Pada awal puncaknya dipimpin oleh cicit Ismail bin Haidar yaitu Syah Abbas naik tahta pada usia 17 tahun dan memerintah dari tahun 1558-1620 M. Dia memerintah bersamaan dengan daulah Utsmaniyah sedang mencapai kejayaannya (masa Sultan Sulaiman Agung), pada masa itu Safawi maju di bidang angkatan perang, ekspansi wilayah, arsitektur bangunan yang sangat indah, serta kebudayaan dan ilmu pengetahuan. Syah  Abbas dikenal memiliki kepemimpinan cakap yang menghasilkan kekuatan bagi pemerintahannya sendiri, sebagaimana yang telah dilakukan dalam pertahanannya dengan membentuk sistem angakatan perang modern pada masa itu, perluasan pun meliputi Irak hingga Merv sebelah timur.[14]  Sepeninggal pemerintahan Abbas yang berusia 62  tahun lamanya bukan mengalami peningkatan, malah mengalami banyak kemunduran yang berakibat keruntuhan kerajaan hingga terpaksa terlengserkan oleh kerajaan lainnya.



C.     Faktor Keruntuhan Kerajaan Safawi
Dalam menganalisis mengapa keruntuhan kerajaan ini dapat terjadi, kita akan menguak lebih dalam untuk beberapa cakupan meluas atau menyempit. Baik itu faktor umum yang membuat kerajaan ini mengalami kemunduran secara berkala maupun faktor khusus yang membawa mereka menemukan keruntuhannya. Dalam identifikasi tidak lepas dari sikap subjektif pemakalah, tetapi pemakalah pun berusaha untuk menjadi analis kasus kemunduran kerajaan Safawi secara objektif.
Banyak sekali hal-hal yang mendukung terjadinya kemunduran kerajaan ini, segi intelektualitas, sistem pertahanan, sistem pemerintahan, politik, gaya hidup, diplomatik, bahkan kekuatan atau keunggulan mereka yang dibangga-banggakan sebelumnya, seperti menjadi senjata makan tuan bagi kerajaan sendiri. Budi ashari[15] pernah berkata, bahwa tidak ada kejadian dalam sejarah yang merupakan sesuatu yang baru, termasuk dalam penyebab keruntuhan kerajaan ini. Artinya, kita  dapat memelajari suatu kelalaian atau kesalahan dari orang lain dari sejarahnya, diharapkan sejarah itu tidak terulang kembali kepada diri sendiri. Faktor-faktor keruntuhan kerajaan di antaranya:

a.       Degradasi Ijtihad
Pada awalnya, negeri Persia adalah salah satu negeri yang beradab tinggi, disamping Yunani dan India, kental dengan tradisi keilmuaan, sejalan pula dengan kemajuan di bidang metafisika Syi’ah serta memadukan berbagai konsep teori, melihat masyarakat Persia yang cukup Heterogen[16]. Tetapi seterusnya, pada masa ini hanya segelintir orang yang dapat mencapai derajat ijtihad, jiwa ijtihad pada masa itu terus mengalami penurunan hingga sedikit yang mencapainya. Hanya sedikit diantaranya tokoh-tokoh semisal al-Izz Ibn Abdi As-Salam, Ibn Hajib, Ibn Daqiq Al-Id, Ibn Rif’ah, Subkhi, Ibn Qoyyim, Baiquni, Asnawy, Kamal Ibn Hilman, Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin As-Suyuti, mereka semua pemuka-pemuka madzhab empat, sesudah zaman mereka tidak terdapat seorang alim besar atau seorang Faqih alim atau seorang pengarang yang cakap[17]. Budaya taqlid[18] menjadi pengaruh yang besar pada faktor ini, mereka enggan melakukan ijtihad, adapun mereka hanya mengikhtisar kitab-kitab fiqih golongan sebelum mereka. Alhasil, kodifikasi karya sangat minim pada zaman ini berakibat panjang terhadap turunnya tingkat intelektualitas di bidang ilmu pengetahuan pada masa itu. Keadaan ini juga diperparah dengan terputusnya hubungan antar Ulama, sebelumnya hal ini tidak terjadi. Dahulu, para Ulama melakukan perjalanan dengan tujuan mengikat tali persaudaraan dan saling tukar-menukar ilmu pengetahuan, kini tidak lagi terjadi. pikiran mereka terbatasi dan semakin sempit  berbanding lurus dengan lemahnya keilmuan.[19]

b.      Bemunculan Figur Pemimpin yang Kurang Cakap
Kemajuan pada zaman kerajaan ini dipimpin oleh Syah Abbas, tetapi sayangnya kemajuan tersebut tidak dibarengi dengan persiapan generasi penerusnya. Para pengganti Syah Abbas bukan orang-orang yang bijaksana melainkan harem[20], yang mulai menimbulkan pengaruh sangat buruk pada urusan kenegaraan, sebab mereka tidak mampu menyempatkan diri dalam mengurus pemerintahan. Ditambah gangguan dari internal memperlemah kekuatan para pemimpin, terjadi perselisihan satu sama lain di seluruh imperium itu.[21] Sebelum masa keterpurukan mereka, Safawi yang bermadzhab resmi Syi’ah sempat bergesekan dengan Utsmani yang bermadzhabkan Sunni, tetapi saat masa Syah Abbas telah disatukan kembali dengan jalan diplomasi. Para pengendali-pengendali Safawi (baca: penerus Syah Abbas), mereka memperpuruk stabilitas negeri dengan memperselisihkan masalah madzhab yang semakin lama berkepanjangan[22].

c.       Konflik Keagamaan Sebagai Puncak  Kehancuran
Konflik keagamaan mulai parah pada masa kepemimpinaN Husain. Husain sebenarnya dia adalah pemimpin yang kemah lembut dan berbaik hati. Namun dia terlalu memberikan kebebasan kepada para Ulama sehingga seolah mereka dapat mengendalikan pemerintahan Husain.[23] Para Ulama tersebut merupakan Ulama Syi’ah yang merasa sudah memiliki kuasa lebih terhadap mayoritas pemerintahan, mengingat pemerintahan itu melegalkan dan menjadikan faham Syi’ah sebagai faham Negara. Hal ini kami nilai sebagai bentuk anti-toleransi yang dilakukan oleh mereka terhadap sekte yang lain selain Syi’ah. Pada hal ini kami juga menganailis bahwa munculnya sikap fanatisme terhadap Syi’ah juga yang memunculkan sikap anti-toleransi tersebut. Fanatisme Syi’ah, memang pada awalnya menjadi kekuatan mereka dalam membangun Negeri Safawi, bagaimana mereka berjuang bersama dalam bersaing dengan Kerajaan Islam lain, tetapi sayangnya fanatisme Syi’ah ini pula yang menyebabkan hancurnya Kerajaan ini.
Sungguh disayangkan memang, Kerajaan yang sudah besar dan berdiri sekian lamanya yang dibangun dengan berlandasan sesuatu harus hancur dengan sesuatu itu pula. Sebelum muncul fanatisme yang sangat berlebihan ini, awalnya masalah perbedaan sekte ini bukan menjadi masalah yang besar mengingat ada wilayah Safawi yang merupakan mayoritas non-Syia’h. Kemudian, para Ulama memicu pergulatan salah satu wilayah Safawi yang mayoritas Sunni Kandahar. Di bawah komando Mir  Mahmud Khan, rakyat yang tidak terima atas perlakuan mereka  melakukan penyerangan kepada pemerintahan Husain. Pada tanggal  8 Maret 1772 pemerintahan Husain di Isfahan (ibu kota) mampu digulingkan oleh Mir Mahmud Khan[24].
Setelah kepemimpinan Mir Mahmud Khan, pemerintahan diberikan kepada Ashraf Shah yang lebih memiliki banyak pengertian, dia berusaha mengadakan kompromi dan bertindak bijaksana. Namun masyarakat Persia merasa tidak percaya dengannya. Berikutnya, pada tahun 1728 M, Tahmasp (pihak Husain) datang bersama sekutunya Nadir Kuli Khan dari suku Afshar bangsa Turki di Khurasan atas, muncul sebagai pembalasan atas kejadian yang lalu, mereka menggempur Ashraf Shah. Kemenangan jatuh di pihak Thamasp, berhasil manaklukkan Meshhed dan Heart, Isfahan dan di dekat Shiraz pada tahun 1730 M. Ashraf Shah akhirnya meninggal terbunuh saat dalam perjalanan kembali ke Kandahar.[25] Berakhirlah sudah kerajaan Safawi dengan terbunuhnya Ashraf dan jatuhnya kerajaan Safawi ke tangan Kerajaan Afshar oleh Nadir Shah Khan.

Nama: Budiman Prastyo
1503076002


[1] Kekhanan = dari Khan, yaitu penguasa suku Mongol, Tartar, atau Turki; kekhanan kira-kira sama dengan kerajaan
[2] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 349
[3] Masa transisi dimaksudkan adalah situasi Islam saat dan pasca hancurnya Baghdad yang hancur oleh bangsa mongol, dan mulai terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan-kerajaan atau dinasti-dinasti sejak awal abad 12 hingga abad ke 15 M, lihat buku Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam karya Abdul Karim
[4] Tamim ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Zaman, 2009), hlm.302
[5] sek·te /sékte/ n kelompok orang yg mempunyai kepercayaan atau pandangan agama yg sama, yg berbeda dr pandangan agama yg lebih lazim diterima oleh para penganut agama tsb; mazhab, Lihat K.B.B.I
[6] Sekte yang pada umumnya dikatakan sebagai pendukung Ali bin abi thalib.
[7] Ardabil atau Artavil, sebuah nama kota yang berada di Iran utara, ibukota provinsi Ardabil, lihat Wikipedia.com
[8] Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 211
[9] Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 215
[10] Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 215, dan ahlul bid’ah yang dimaksud merupakan sebutan yang diberikan kepada golongan yang menyalahi Sunnah Nabi.
[11] Berambut merah, bahasa Turki, yang dimaksudkan ialah karena penganut Syi’ah pada zaman tersebut yang memakai topi berwarna merah 12 lipatan melambangkan jumlah imam mereka.
[12] Tamim ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta: Zaman, 2009), hlm.303, dan yang dimaksud imam ghaib adalah imam kedua belas yang menghilang dari keturunan Ali, Syi’ah memercayai bahwa dia tidak hilang/meninggal tetapi akan selalu hidup dan masih berkomunikasi dengan Allah.
[13] Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 250
[14] Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 250-251
[15] Budi Ashari, Lc, Tulungagung, 17 April 1975 yang merupakan lulusan terbaik Fakultas Hadis dan Studi Islam di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia. Beliau lebih dari 6 tahun mengkaji dan mengeksplorasi konsep dan sistem Islam. Direktur Lembaga Kajian dan Studi Ilmu Peradaban Islam Cahaya Siroh dan Pembina Parenting Nabawiyah.
[16] Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 232-233
[17] Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 228
[18] Taqlid, menurut Asnawy, taqlid merupakan mengambil perkataan orang lain tanpa dalil.
[19] Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana, 2003), hlm. 229
[20]Harem, Para wanita piaraan, lihat buku Sejarah Peradaban Islam karya Imam Fuadi
[21] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 354
[22] Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 237
[23]Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 238
[24] [24]Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta: Teras, 2012), hlm. 238
[25] Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 355

0 komentar:

Posting Komentar