oleh : Anggi Prasetyo
Khitbah menurut para
fuqaha adalah permintaan seorang pria kepada seorang wanita tertentu secara
langsung untuk mengisterikannya atau kepada walinya dengan menjelaskan hal
dirinya dan pembicaraan mereka dalam masalah aqad, harapan-harapannya dan
harapan mereka mengenai perkawinan. Demikianlah, Imam Muhammad Abu Zahrah
didalam kitabnya Akhwalusy Syakhsiyyah.[1]
Meski telah
melaksanakan khitbah, tidak ada suatu kepastian bahwa keduanya pasti akan
menikah. Kegagalan bagi kedua calon untuk bersanding di pelaminan masih tetap
ada dengan adanya satu atau beberapa masalah yang terjadi. Jika akhirnya
pernikahan tidak terwujud, maka ada beberapa hal yang harus diperhatikan yakni:
1. Menjaga
Hubungan Baik
Meski perkawinan
tidak terwujud, silaturahmi yang telah dibangun antar kedua belah pihak tidak
boleh putus. Kemudian kedua belah pihak juga harus menyadari bahwa kegagalan
mereka menjadi satu keluarga besar adalah takdir yang terbaik dari Allah SWT
sehingga tidak menjadikan kedua belah pihak menjadi patah arah untuk tetap
berhubungan baik. Salah satu cara untuk tetap menjaga hubungan baik antara
keduanya adalah tidak menceritakan hal-hal yang bersifat rahasia lagi pribadi
masing-masing pihak kepada pihak-pihak luar.
2. Masalah Hadiah
Selama tahap
meminang, pihak lelaki dianjurkan memberikan hadiah kepada pihak perempuan
selama hal itu tidak memberatkan. Apabila kemudian hari keduanya tidak dapat
melanjutkan ke jenjang pelaminan, menurut madzhab maliki, apabila pembatalan
dilakukan oleh pihak laki-laki, maka tidak berhak meminta kembali hadiah yang
telah diberikan. Sedangkan apabila pembatalan dari pihak perempuan, maka hadiah
tersebut harus dikembalikan. Sebaiknya masalah ini dimusyawarahkan secara
kekeluargaan sehingga dapatlah melegakan semua pihak tanpa harus bersitegang
dalam urusan yang sebetulnya bukan masalah yang besar.
[1] Abdul Hadi, FIQH MUNAKAHAT Seri
1:Duta Grafika, 1989 hlm 24-25
0 komentar:
Posting Komentar