I.
Persia Gambaran Umum Sebelum Berdiri.
Kekhanan[1]
telah menjadi suatu hal dari masa silam. Seluruh wilayah Timur Tengah terbagi
menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Tidak ada kekuasaan muslim yang besar pada
waktu itu di dunia. Oleh karena itu, dibutuhkan pejuang besar dan suatu
kerajaan yang kuat. Tentunya tidak hanya pejuang seorang diri, tetapi dalam
bentuk pasukan. Pada masa itu anak benua India terbagi ke dalam
kerajaan-kerajaan kecil. Begitu pula keadaan di Afrika. Berkat karunia Allah,
seorang pejuang yang dibutuhkan datang ke dunia, yang terkenal dengan
nama
Timur, seorang keturunan Chunghtai Khan, salah seorang anak Jengis Khan yang
telah mewarisi Asia Tengah sebagai kekhanannya dari imperium raksasa bangsa
Mongol yang besar. Timur berhasil menaklukkan Chunghtai Khan tahun 1369 M,
Samarkand, wilayah-wilayah Transoxiania selebihnya[2].
Timur merupakan administrator yang handal dan penakluk handal yang tertulis di
dalam sejarah dunia. Seperti sudah medarah daging dan juga telah mengikuti
tradisi bangsa sebelumnya (baca: era Timur), kerajaan Safawiyah seolah
melanjutkan semangat juang dari seorang Timur pada saat masa transisi[3]
pasca kehancuran Baghdad di tangan bangsa Mongol. Safawi meraih tahta dengan
cara yang tidak biasa pula, mereka berpulang kepada sebuah persaudaraan sufi
yang terbentuk setelah letusan Mongol, terbentuk di utara Persia. Kerajaan ini
pula yang menghambat Utsmani dalam perluasannya ke arah timur[4].
gambar peta diambil dari wikipedia
A.
Keadaan Persia Sebelum Runtuh Sampai Menuju Keruntuhan
Bangsa
Safawiah dari segi pemikiran, ada yang mengatakan Safawiah adalah berasal dari
sekte ada pula yang mengatakan berasal dari tarekat (Thariqat). Sebagian
mengatakan bahwa Safawiah berasal dari sekte, sekte[5]
yang dimaksud merupakan sekte Syi’ah[6],
sedangkan yang mengatakan bahwa Safawi adalah berasal dari tarekat, yang
dimaksudkan adalah tarekat yang berdiri di Ardabil[7],
dimana tarekat tersebut dinisbatkan kepada nama pendirinya yaitu Saifuddin
Ishak al-Ardabily (w.1252 M), orang yang memelajari kehidupan sufi, beliau
dikenal sebagai orang yang taat melakukan kegiatan keagamaan dengan dunia
tasawuf. Ditambah Saifuddin Ishak al-Ardabily itu sendiri juga belajar langsung
dengan guru sufi yang bernama Syekh Tajuddin Ibrahim Zahidi (w. 1301 M), atau
julukannya Zahid al-Ghilani[8].
Keberadaan Saifuddin yang termasyhur
nasabnya tidak begitu jelas, ada yang menyebutkan bahwa ia adalah Syi’ah
keturunan Musa al-Kadzim, imam ketujuh, yang berarti keturunan Rasullah ﷺ dari Fatimah. Ada juga yang mengatakan dia
adalah keturunan penduduk asli Iran dari Kurdistan seorang Sunni Madzhab
Syafi’I, yang konon pengganti yang kedua berganti Syi’ah. Artinya tarekat Safawiah
tidak sepenuhnya berawal dari Syi’ah, namun berawal dari ajaran sunni, sebagaimana
dikemukakan oleh para ahli sejarah bahwa fase pertama gerakan Safawi mempunyai
dua corak yaitu sunni pada masa kepemimpinan Saifuddin (1301-1334 M) dan anaknya, Sadruddin Musa (1334-1399 M),
serta corak Syi’ah pada masa kepemimpinan cucu Saifuddin yang bernama Khawaja
Ali (1399-1427 M), dan pada masa Ibrahim (1427-1447 M)[9].
Dapat dikatakan pula terjadi pergeseran pada generasi ketiga, golongan-golongan
yang pro-Syi’ah semakin terbuka dalam menjadikan ini tarekat, dan semakin
menemukan kekuatannya.
B.
Transisi Gerakan Syi’ah dari Gerakan Tarekat Hingga Menjadi Gerakan
Politik
Syi’ah
sebagai gerakan tarekat yang pada mulanya, kini berubah menjadi gerakan
politik. Syiah juga pada awalnya (baca: fase awal) tidak tertarik dengan dunia
politik, kini menjelma menjadi gerakan politik yang masif. Sebelum menjadi
gerakan politik, Safawiah merupakan gerakan tasawuf yang memerangi orang-orang
ingkar atau yang mereka sebut ahlul bid’ah[10].
Sebagian golongan yang yang memiliki fanatisme terhadap ajaran tarekat,
yang melatar-belakangi munculnya rasa politisasi dari golongan yang ingin
berkuasa. Dari sinilah terjadi transisi antara tarekat Syi’ah menjadi gerakan
politik Syi’ah, mereka terbangun menjadi pasukan, golongan, fanatisme dalam
kepercayaan yang berakibat pula pada perilaku, yakni menentang golongan selain Syi’ah.
Menurut sejarawan muslim, Tamim Ansary, pada pertengahan abad ke-15, Safawi
memeluk kepercayaan ini dengan berciri khas topi merah Qizilbash[11].
Fanatisme tidak sekadar fanatisme, menganggap pemimpin mereka sebagai sesuatu
yang lebih dari yang lain itu sudah hal yang di luar kebiasaan. Sebagaimana
yang dipahami oleh kaum Syi’ah yang menganggap khalifah dan sultan bukan
satu-satunya gelar otoritas universal
tetapi juga imam. Menurut mereka selalu ada satu imam di dunia,
dan imam sejati sebuah zaman selalu diturunkan dari Nabi Muhammad melalui
putrinya Fathimah dan suaminya Ali, belum lagi ada doktrin yang menganggap
mereka memiliki imam urutan kedua belas yang merupakan imam ghaib[12].
Yang
dianggap sebagai pelopor gerakan tasawuf menjadi suatu kerajaan adalah Ismail
bin Haidar yang lahir tahun 1487 M, pada
usia 15 tahun ia memproklamirkan diri sebagai raja besar Iran dan pembela
Madzhab Syi’ah (sejak itu diresmikan)[13].
Pada awal puncaknya dipimpin oleh cicit Ismail bin Haidar yaitu Syah Abbas naik
tahta pada usia 17 tahun dan memerintah dari tahun 1558-1620 M. Dia memerintah
bersamaan dengan daulah Utsmaniyah sedang mencapai kejayaannya (masa Sultan
Sulaiman Agung), pada masa itu Safawi maju di bidang angkatan perang, ekspansi
wilayah, arsitektur bangunan yang sangat indah, serta kebudayaan dan ilmu
pengetahuan. Syah Abbas dikenal memiliki
kepemimpinan cakap yang menghasilkan kekuatan bagi pemerintahannya sendiri,
sebagaimana yang telah dilakukan dalam pertahanannya dengan membentuk sistem
angakatan perang modern pada masa itu, perluasan pun meliputi Irak hingga Merv
sebelah timur.[14] Sepeninggal pemerintahan Abbas yang berusia
62 tahun lamanya bukan mengalami
peningkatan, malah mengalami banyak kemunduran yang berakibat keruntuhan kerajaan
hingga terpaksa terlengserkan oleh kerajaan lainnya.
C.
Faktor Keruntuhan Kerajaan Safawi
Dalam
menganalisis mengapa keruntuhan kerajaan ini dapat terjadi, kita akan menguak
lebih dalam untuk beberapa cakupan meluas atau menyempit. Baik itu faktor umum
yang membuat kerajaan ini mengalami kemunduran secara berkala maupun faktor
khusus yang membawa mereka menemukan keruntuhannya. Dalam identifikasi tidak
lepas dari sikap subjektif pemakalah, tetapi pemakalah pun berusaha untuk
menjadi analis kasus kemunduran kerajaan Safawi secara objektif.
Banyak
sekali hal-hal yang mendukung terjadinya kemunduran kerajaan ini, segi
intelektualitas, sistem pertahanan, sistem pemerintahan, politik, gaya hidup,
diplomatik, bahkan kekuatan atau keunggulan mereka yang dibangga-banggakan
sebelumnya, seperti menjadi senjata makan tuan bagi kerajaan sendiri.
Budi ashari[15]
pernah berkata, bahwa tidak ada kejadian dalam sejarah yang merupakan sesuatu
yang baru, termasuk dalam penyebab keruntuhan kerajaan ini. Artinya, kita dapat memelajari suatu kelalaian atau kesalahan
dari orang lain dari sejarahnya, diharapkan sejarah itu tidak terulang kembali
kepada diri sendiri. Faktor-faktor keruntuhan kerajaan di antaranya:
a.
Degradasi Ijtihad
Pada
awalnya, negeri Persia adalah salah satu negeri yang beradab tinggi, disamping
Yunani dan India, kental dengan tradisi keilmuaan, sejalan pula dengan kemajuan
di bidang metafisika Syi’ah serta memadukan berbagai konsep teori, melihat
masyarakat Persia yang cukup Heterogen[16].
Tetapi seterusnya, pada masa ini hanya segelintir orang yang dapat mencapai
derajat ijtihad, jiwa ijtihad pada masa itu terus mengalami penurunan hingga
sedikit yang mencapainya. Hanya sedikit diantaranya tokoh-tokoh semisal al-Izz
Ibn Abdi As-Salam, Ibn Hajib, Ibn Daqiq Al-Id, Ibn Rif’ah, Subkhi, Ibn Qoyyim,
Baiquni, Asnawy, Kamal Ibn Hilman, Jalaluddin al-Mahalli, Jalaluddin As-Suyuti,
mereka semua pemuka-pemuka madzhab empat, sesudah zaman mereka tidak terdapat
seorang alim besar atau seorang Faqih alim atau seorang pengarang yang cakap[17].
Budaya taqlid[18]
menjadi pengaruh yang besar pada faktor ini, mereka enggan melakukan ijtihad,
adapun mereka hanya mengikhtisar kitab-kitab fiqih golongan sebelum mereka.
Alhasil, kodifikasi karya sangat minim pada zaman ini berakibat panjang
terhadap turunnya tingkat intelektualitas di bidang ilmu pengetahuan pada masa
itu. Keadaan ini juga diperparah dengan terputusnya hubungan antar Ulama,
sebelumnya hal ini tidak terjadi. Dahulu, para Ulama melakukan perjalanan
dengan tujuan mengikat tali persaudaraan dan saling tukar-menukar ilmu pengetahuan,
kini tidak lagi terjadi. pikiran mereka terbatasi dan semakin sempit berbanding lurus dengan lemahnya keilmuan.[19]
b.
Bemunculan Figur Pemimpin yang Kurang Cakap
Kemajuan
pada zaman kerajaan ini dipimpin oleh Syah Abbas, tetapi sayangnya kemajuan
tersebut tidak dibarengi dengan persiapan generasi penerusnya. Para pengganti
Syah Abbas bukan orang-orang yang bijaksana melainkan harem[20],
yang mulai menimbulkan pengaruh sangat buruk pada urusan kenegaraan, sebab
mereka tidak mampu menyempatkan diri dalam mengurus pemerintahan. Ditambah
gangguan dari internal memperlemah kekuatan para pemimpin, terjadi perselisihan
satu sama lain di seluruh imperium itu.[21]
Sebelum masa keterpurukan mereka, Safawi yang bermadzhab resmi Syi’ah sempat
bergesekan dengan Utsmani yang bermadzhabkan Sunni, tetapi saat masa Syah Abbas
telah disatukan kembali dengan jalan diplomasi. Para pengendali-pengendali
Safawi (baca: penerus Syah Abbas), mereka memperpuruk stabilitas negeri dengan
memperselisihkan masalah madzhab yang semakin lama berkepanjangan[22].
c.
Konflik Keagamaan Sebagai Puncak
Kehancuran
Konflik
keagamaan mulai parah pada masa kepemimpinaN Husain. Husain sebenarnya dia
adalah pemimpin yang kemah lembut dan berbaik hati. Namun dia terlalu
memberikan kebebasan kepada para Ulama sehingga seolah mereka dapat
mengendalikan pemerintahan Husain.[23]
Para Ulama tersebut merupakan Ulama Syi’ah yang merasa sudah memiliki kuasa
lebih terhadap mayoritas pemerintahan, mengingat pemerintahan itu melegalkan
dan menjadikan faham Syi’ah sebagai faham Negara. Hal ini kami nilai sebagai
bentuk anti-toleransi yang dilakukan oleh mereka terhadap sekte yang lain
selain Syi’ah. Pada hal ini kami juga menganailis bahwa munculnya sikap
fanatisme terhadap Syi’ah juga yang memunculkan sikap anti-toleransi tersebut.
Fanatisme Syi’ah, memang pada awalnya menjadi kekuatan mereka dalam membangun
Negeri Safawi, bagaimana mereka berjuang bersama dalam bersaing dengan Kerajaan
Islam lain, tetapi sayangnya fanatisme Syi’ah ini pula yang menyebabkan
hancurnya Kerajaan ini.
Sungguh
disayangkan memang, Kerajaan yang sudah besar dan berdiri sekian lamanya yang
dibangun dengan berlandasan sesuatu harus hancur dengan sesuatu itu pula.
Sebelum muncul fanatisme yang sangat berlebihan ini, awalnya masalah perbedaan
sekte ini bukan menjadi masalah yang besar mengingat ada wilayah Safawi yang
merupakan mayoritas non-Syia’h. Kemudian, para Ulama memicu pergulatan salah
satu wilayah Safawi yang mayoritas Sunni Kandahar. Di bawah komando Mir Mahmud Khan, rakyat yang tidak terima atas
perlakuan mereka melakukan penyerangan
kepada pemerintahan Husain. Pada tanggal
8 Maret 1772 pemerintahan Husain di Isfahan (ibu kota) mampu digulingkan
oleh Mir Mahmud Khan[24].
Setelah
kepemimpinan Mir Mahmud Khan, pemerintahan diberikan kepada Ashraf Shah yang
lebih memiliki banyak pengertian, dia berusaha mengadakan kompromi dan
bertindak bijaksana. Namun masyarakat Persia merasa tidak percaya dengannya.
Berikutnya, pada tahun 1728 M, Tahmasp (pihak Husain) datang bersama sekutunya
Nadir Kuli Khan dari suku Afshar bangsa Turki di Khurasan atas, muncul sebagai
pembalasan atas kejadian yang lalu, mereka menggempur Ashraf Shah. Kemenangan
jatuh di pihak Thamasp, berhasil manaklukkan Meshhed dan Heart, Isfahan dan di
dekat Shiraz pada tahun 1730 M. Ashraf Shah akhirnya meninggal terbunuh saat
dalam perjalanan kembali ke Kandahar.[25]
Berakhirlah sudah kerajaan Safawi dengan terbunuhnya Ashraf dan jatuhnya
kerajaan Safawi ke tangan Kerajaan Afshar oleh Nadir Shah Khan.
Nama:
Budiman Prastyo
1503076002
[1]
Kekhanan = dari Khan, yaitu penguasa suku Mongol, Tartar, atau Turki; kekhanan
kira-kira sama dengan kerajaan
[2]
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 349
[3]
Masa transisi dimaksudkan adalah situasi Islam saat dan pasca hancurnya Baghdad
yang hancur oleh bangsa mongol, dan mulai terpecah-pecah menjadi beberapa kerajaan-kerajaan
atau dinasti-dinasti sejak awal abad 12 hingga abad ke 15 M, lihat buku Sejarah
Pemikiran dan Peradaban Islam karya Abdul Karim
[4]
Tamim ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta:
Zaman, 2009), hlm.302
[5] sek·te
/sékte/ n kelompok orang yg mempunyai kepercayaan atau pandangan agama
yg sama, yg berbeda dr pandangan agama yg lebih lazim diterima oleh para
penganut agama tsb; mazhab, Lihat K.B.B.I
[6] Sekte
yang pada umumnya dikatakan sebagai pendukung Ali bin abi thalib.
[7] Ardabil
atau Artavil, sebuah nama kota yang berada di Iran utara, ibukota provinsi
Ardabil, lihat Wikipedia.com
[8]
Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 211
[9]
Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 215
[10]
Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 215, dan ahlul bid’ah yang dimaksud merupakan sebutan
yang diberikan kepada golongan yang menyalahi Sunnah Nabi.
[11] Berambut
merah, bahasa Turki, yang dimaksudkan ialah karena penganut Syi’ah pada
zaman tersebut yang memakai topi berwarna merah 12 lipatan melambangkan jumlah
imam mereka.
[12]
Tamim ansary, Dari Puncak Baghdad Sejarah Dunia Versi Islam, (Jakarta:
Zaman, 2009), hlm.303, dan yang dimaksud imam ghaib adalah imam kedua
belas yang menghilang dari keturunan Ali, Syi’ah memercayai bahwa dia tidak
hilang/meninggal tetapi akan selalu hidup dan masih berkomunikasi dengan Allah.
[13]
Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana,
2003), hlm. 250
[14]
Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana,
2003), hlm. 250-251
[15] Budi
Ashari, Lc, Tulungagung, 17 April 1975 yang merupakan lulusan terbaik Fakultas
Hadis dan Studi Islam di Universitas Islam Madinah, Saudi Arabia. Beliau lebih
dari 6 tahun mengkaji dan mengeksplorasi konsep dan sistem Islam. Direktur
Lembaga Kajian dan Studi Ilmu Peradaban Islam Cahaya Siroh dan Pembina Parenting
Nabawiyah.
[16]
Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 232-233
[17]
Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana,
2003), hlm. 228
[18] Taqlid,
menurut Asnawy, taqlid merupakan mengambil perkataan orang lain tanpa
dalil.
[19]
Prof.Dr.Hj.Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, (Jakarta: Kencana,
2003), hlm. 229
[21]
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 354
[22]
Prof.DR.Imam Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 237
[23]Prof.DR.Imam
Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 238
[24] [24]Prof.DR.Imam
Fuadi, M.Ag, Sejarah Peradaban Islam Dirasah Islamiyah II, (Yogyakarta:
Teras, 2012), hlm. 238
[25]
Syed Mahmudunnasir, Islam Konsepsi dan Sejarahnya, (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2005), hlm. 355
0 komentar:
Posting Komentar