Jumat, 03 Juni 2016

Sejarah KAMMI dan Karakter Kader




(oleh: aditya, Komsat UIN Walisongo)



Sejarah Singkat
Pada masa transisi era Orde Baru menuju reformasi tahun 1998 terjadi pergumulan hebat di tengah-tengah kelompok masyarakat yang mengiginkan perubahan total kondisi elite pemerintahan. Salah satunya adalah kelompok-kelompok mahasiswa yang selalu menjadi pengamat dan pengkritisi paling tajam di pemerintahan. Tak salah jika dalam bahasa Samuel Huntington bahwa gerakan mahasiswa merupakan the universal opposition bagi pemerintah. Di dunia kampus jauh-jauh hari sebelum terjadi keruntuhan rezim orde baru telah ada embrio-embrio kelompok mahasiswa yang menjadikan masjid - selain sebagai tempat ibadah tentunya -  sebagai basis pergerakan. Artinya adalah mereka melakukan segala aktivitasnya di masjid bukan hanya sebagai tempat berda’wah mensyiarkan Islam namun juga sebagai pusat informasi, bermusyawarah dan berdiskusi, sebagai tempat mempelajari peroalan-persoalan sosial, ekonomi, dan politik yang sedang berkembang baik nasional maupun internasional. Gerakan spiritualitas Islam
di dunia kampus – masjid kampus - dimulai pada saat dibangunnya masjid Salman[1] di ITB (Institut Teknoligi Bandung).
Seiring berjalannya waktu segala kegiatan mahasiswa di masjid Salman ITB pada tahun 80an yang digagas oleh Dr. Ir. Imadudin Abdul Rahim, M. Sc mulai menginspirasi kampus-kampus lain di Indonesia. Sehingga banyak perguruan tinggi pada saat itu yang mengadopsi karakter gerakan da’wah kampus yang digalakkan di ITB. Karakter khusus konsep da’wah di masjid Salman adalah adanya pandangan ke-Islaman yang menyeluruh (syamil), dimana tidak memisahkan Islam dalam aspek satu dengan yang lainnya dalam hidup ini. Imadudin mengadopsi pola usrah[2] dalam menjalankan aktivitas da’wahnya. Pola usrah ini nampaknya ada keterpengaruhan terhadap konsep tarbiyah gerakan Ikhwanul Muslimin di Mesir[3]. Mengingat Imadudin aktif dalam berbagai kegiatan da’wah di dalam maupun luar negeri. Ia pernah menjadi dosen tamu di Malaysia sehingga ada interaksi antara dirinya dengan gerakan syiar Islam di Malaysia, salah satunya ABIM (Angkatan Belia Islam Malaysia). Di Malaysia banyak buku karya tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Dari Malaysia inilah  kemungkinan Imadudin membawa dan mulai mengenalkan buku karya para pemikir Ikhwanul Musimin ke Indonesia sebagai pedoman syiar Islamnya, terutama di lingkungan perguruan tinggi.
Berbagai gerakan mahasiswa berbasis masjid mulai bermunculan di berbagai perguruan tinggi  Indonesia. Hingga akhirnya gerakan da’wah mahasiswa di kampus berhasil ter-institusionalisasikan dengan nama LDK (Lembaga Dakwah Kampus). Semisal Jama’ah Shalahudin di UGM, LAI Undip, Jama’ah masjid ARH-UI, Jama’ah masjid al-Ghifari IPB[4], Mujahidin IKIP Yogyakarta dan yang lainnya. Kebanyakan aktivitas ke-Islaman di kampus dilaksanakan program-program mentoring berupa dauroh (training ke-Islaman) dan halaqah-halaqah. Konsep syiar Islam LDK di beberapa kampus dominannya memiliki kemiripan dari segi karakter dan pemikiran dengan Hasan al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin). Kemudian  seiring waktu lahirlah apa yang disebut dengan FSLDK (Forum Silaturahim Da’wah Kampus)[5] sebagai wadah koordinasi dan tempat sharing berbagai lembaga da’wah antar kampus di Indonesia. Sarasehan yang diadakan FSLDK tiap tahunnya selalu menghasilkan pont-point perlunya kesatuan dan sinergi dalam langkah da’wah (global).
Starting point-nya adalah pada saat penyelenggaraan FSLDK yang ke-10 di Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus bertepatan dengan gejolak situasi ekonomi, sosial dan politik di Indonesia era pemerintahan Soeharto, munculah gagasan bagaimana manifestasi sikap dan pandangan LDK  dalam menghadapi permasalahan bangsa yang sedang terjadi pada saat itu. Artinya di perlukan wadah tersendiri bagi LDK sebagai tanggung jawab moral dalam menyikapi krisis bangsa  berbagai sektor. Lantas diambil kesepakatan bahwa melanjutkan pembahasan mengenai hal tersebut di luar forum FSLDK, namun pada hari itu juga. Setelah dibentuk tim formatur yang terdiri dari 8 anggota yang mewakili LDK dari beberapa perguruan tinggi, menyepakati dua hal penting yaitu : Pertama, perlunya wadah khusus bagi para aktivis LDK – di luar FSLDK ataupun LDK – guna merespon krisis nasional termasuk pada tataran aksi. Kedua, sepakat mendeklarasikan wadah baru tersebut setelah selesainya acara FSLDK, sehingga wadah ini bukan merupakan keputusan FSLDK.
Tim Formatur – terdiri dari 8 orang perwakilan beberapa LDK - yang telah dibentuk akhirnya berhasil merumuskan suatu wadah perjuangan bagi aktivis da’wah kampus yang bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Dengan mekanisme secara aklamasi, terpilihlah Fahri Hamzah sebagai Ketua Umum dan Haryo Setyoko sebagai Sekretaris Umum[6]. Wadah ini – KAMMI – dideklarasikan pada hari Ahad, 29 Maret 1998 pada pukul 13.30 di Aula UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)[7]. Sehari pasca di deklarasikan di Malang, pada hari senin KAMMI mempublikasikan kemunculannya dalam sebuah konferensi pers di Masjid Arif Rahman UI Salemba. Penting dicermati bahwa Fahri Hamzah menyatakan lahirnya KAMMI adalah ide spontan dan tidak ada dalam kerangka forum FSLDK yang telah terjadwal sebelumnya. Kemudian satu hal yang tidak kalah penting, benar KAMMI terlahir oleh aktivis da’wah kampus, namun tidak serta merta ada dukungan formal secara struktural lembaga oleh LDK terhadap KAMMI. 
Ada satu hal yang menjadi gebrakan KAMMI pada saat itu adalah tiga belas hari setelah di deklarasikan yaitu pada 10 April 1998, KAMMI menyelenggarkan aksi lapangan berupa “Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat Indonesia” di lapangan Masjid Al-Azhar. Aksi tersebut dihadiri kurang lebih 20 ribu masa, merupakan hal yang istimewa dan mencengangkan bagi gerakan mahasiswa yang masih sangat dini.[8] Sehingga banyak pertanyaan sisnis dan kontroversial dibalik segala gerak dan sikap yang diambil KAMMI. Seperti pertanyaan “Bagaimana mungkin organisasi yang masih berumur sehari mampu mengeluarkan sikap politik yang solid terhadap pemerintahan dan menghimpun 60 LDK ?” kemudian “Bagaimana pula dapat menyelenggarakan aksi-aksi yang besar ditengah strukturalisasi formal organisasi yang masih belum begitu terdengar ?”. Artinya sempat mencuat opini bahwa ada kekuatan politik yang mem-back up – aktor besar di balik layar yang juga menopang dana – lahirnya KAMMI sebagai gerakan mahasiswa yang semakin memperkeruh gejolak menentang pemerintah. Namun semua pertanyaan tersebut dijawab dengan bijak oleh Haryo Setyoko selaku Sekertaris Umum saat itu “KAMMI beranggotakan individu-individu yang punya basis kultur religius, yang selama 20 tahun aktivitasnya di LDK terus terjadi penguatan-penguatan visi keagamaan, intelektual, dan juga politik”.
Eskalasi basis gerakan KAMMI tidak hanya mengalami peningkatan di dalam negeri saja, namun juga di luar negeri. Sesaat pasca lengsernya Soeharto, tak butuh waktu lama masih di waktu yang sama Mei 1998 secara membanggakan KAMMI  dapat dengan cepat membentuk jaringannya di luar negeri. Antara lain KAMMI Eropa, KAMMI Amerika Utara-Kanada, KAMMI Jepang, KAMMI Timur-Tengah, KAMMI Pakistan, dan KAMMI Australia. Perjuangan KAMMI secara simultan dengan aksi-aksinya di lapangan mampu mengangkat pamor KAMMI secara signifikan di antara gerakan ekstra kampus yang lain. Tujuh bulan setelah kelahirannya pada Muktamar I,  KAMMI menjelmakan diri secara resmi menjadi Organisasi Kemasyarakatan (Ormas). Begitulah  pergerakan aktivis KAMMI yang bernafaskan da’wah Islam hingga mampu menjadi bagian entitas penting runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto. KAMMI senantiasa mengawal secara tajam jalannya pemerintahan masa transisi reformasi pada kepemimpinan B. J. Habibie berlanjut ke Abdurrahaman Wahid kemudian Megawati dan seterusnya. Dimikianlah, bahwa  supremasi manhaj, identitas dan karakter KAMMI semoga akan tetap melekat sekaligus menjadi pengawas, pengawal dan penggerak dalam kemaslahatan umat bagi pemerintahan Indonesia ke depan.

Karakter Kader KAMMI (das sollen)
Ada image bahwa para aktvis organisasi adalah mereka yang cenderung abai terhadap tanggung jawab mutlak yang harus diembannya, yaitu tanggung jawab dalam tataran formal akademis (academic dimension – normative responsibility). Terlebih realitas di lapangan agaknya semakin mendukung opini tersebut. Baik disadari ataupun tidak, sering dijumpai para aktivis yang meremehkan  aktivitas perkuliahan formal, yang tercermin dari lamanya waktu mereka menempuh studinya di perguruan tinggi. Banyak alasan yang dikemukakan, mulai dari pentingnya pengawalan kaderasasi dalam organisasi oleh senior, masih menikmati fase hidup tanpa tanggungan, terlena dalam domain gaya hidup generasi muda, sampai dengan merasa eman jika status mahasiswanya terlewatkan dalam waktu singkat. Tak bermaksud men-generalisir, tentu permasalahan individu berbeda-beda sehingga ada dimana keadaan memaksa mereka untuk memaksimalkan jatah waktu (semester) dalam studinya. Namun para aktivis KAMMI seharusnya tidak demikian. Mengingat eksistensi KAMMI adalah organisasi yang lahir dari gerakan dakwah kampus. Secara historis sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa mayoritas – mungkin juga seluruhnya – kader KAMMI generasi awal adalah merupakan aktivis dakwah kampus. Para aktivis da’wah kampus - jauh sebelum lahirnya KAMMI - adalah orang-orang berprestasi secara komprehensif. Semisal Zulkiflimansyah ketua Senat Mahasiswa UI (1994-1995) sekarang doktor di bidang ekonomi sekaligus dosen FE-UI, Kamarudin SM-UI (1985-1986), adalah doktor ilmu politik sekaligus dosen FISIP-UI, Hatta Rajasa (menteri era Presiden SBY) adalah aktivis tulen masjid Salman ITB serta banyak yang lainnya. Karakter kader KAMMI – seharusnya - mampu mencerminkan semangat tanggung jawab dalam menjalani dimensi formalitas pendidikannya, sebagaimana karakter founding fathers KAMMI dan yang aktivis da’wah meneladankan.
Para aktivis dakwah pada fase-fase awal pendirian KAMMI adalah mereka yang tidak hanya aktif, cerdas dan kritis dalam gerakan ekstra kampus namun juga berprestasi secara akademik. Mereka tidak hanya dikenal saleh dan aktif secara sosial namun juga memilki IP yang tinggi. Maka ini adalah sebuah karakter individu yang penting bagi aktivis KAMMI, sehingga bukan hanya pencitraan semata yang terbangun. Lantas ada pernyataan bahwa prestasi akademik yang baik, IP yang tinggi, dan waktu studi cepat bukanlah cerminan dari kecerdasan apalagi menjamin keberhasilan seseorang di masa depan. Namun satu hal yang pasti bahwa mereka mengejawantahkan rasa syukur melalui keseriusan dalam studinya. Satu hal lagi yang menjadi ciri khas kader KAMMI adalah mereka senantiasa – setidaknya minim terjadi kekacauan – saat melakukan aksi-aksi lapangan (demonstrasi) secara tertib dan damai. Pada saat berunjuk rasa melengserkan Soeharto 19 Mei 1998 di Monas, para aktivis KAMMI menggunakan slogan “Reformasi Damai”. Malam hari sebelum unjuk rasa pada waktu itu, mereka melakukan qiyamul lail, do’a bersama, kemudian sholat subuh berjama’ah dan bergerak ke lapangan secara sepakat mereka senantiasa mengumandangkan kalimat takbir, tahmid, dan tahlil.  Terlebih The Jakarta Post pernah dalam sebuah pemberitaannya memberikan penilaian, bahwa aksi-aksi KAMMI senantiasa dilakukan secara damai, tertib, dan rasional dalam agenda-agenda reformasinya. Sehingga kader KAMMI adalah individu yang tidak hanya mencerminkan sebagai generasi intelektual namun juga bermoral, berakhlak baik sekaligus berprestasi akademik. Wallahu a’lam bishowab

“Generasi muda pada setiap bangsa merupakan tiang kebangkitan, pada setiap kebangkitan, mereka adalah rahasianya, dan pada setiap gagasan, mereka adalah para pembawa benderanya”.(Hasan al-Banna)
Ya Allah, Engkau mengetahui bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan pada Mu, maka kokohkanlah. Ya Allah ikatkanlah, kekalkanlah cintanya.” (Sayyid Quthb).


[1] Pemberian nama masjid Salman diberikan oleh Bung Karno, mengacu pada salah satu sahabat Rasulullah saw yaitu Salman al- Farisi, yang dianggap Bung Karno sebagai representasi kecerdasan dan kecerdikan.
[2] Usrah adalah kelompok-kelompok kecil pembinaan yang terdiri dari beberapa orang dengan seorang guru.
[3] Usrah dalam konteks Ikhwanul Muslimin diartikan sebagai “Perisai perlindungan yang kokoh bagi setiap anggotanya”.
[4] Maraknya kegiatan da’wah Islam dan iklim karakter Islam yang tercermin dalam identitas  berpakaian terutama perempuan (akhwat) di IPB pada saat itu atau (menurut penulis) mungkin masih hingga saat ini, sehingga IPB sering disebut Institut Pesantren Bogor. 
[5] Meskipun diadakan sarasehan pertama kali pada tahun 1986, namun penyebutan istilah FSLDK baru secara resmi pada pertemuan yang ketiga September 1987 dan menggunakan logo mirip kata “Allah” berwarna dominan hijau.
[6] Fahri Hamzah pada saat itu adalah aktivis LDK UI dan berstatus mahasiswa S-2 UI, kemudian Haryo Setyoko adalah aktivis LDK UGM yang juga Ketua BEM UGM. Penunjukkan keduanya dengan alasan memiliki track-record yang mumpuni di LDK dan memiliki kapabilitas untuk tampil dalam gerakan ekstra kampus.
[7] Muncul opini bahwa penandatangan “Piagam Deklarasi Malang” yang dilakukan oleh sebagian besar peserta FSLDK adalah tidak mewakili LDK di perguruan tinggi masing-masing tetapi representasi perorangan.
[8] Satu hal yang perlu dicermati bahwa sejak pertengahan 1997 hingga maret 1998 aksi-aksi demonstrasi mahasiswa baik yang dilakukan Senat Mahasiswa maupun Komite-Komite Aksi pada umumnya dihadiri hanya ratusan mahasiswa.

0 komentar:

Posting Komentar