(oleh: aditya,
Komsat UIN Walisongo)
Sejarah
Singkat
Pada masa transisi era
Orde Baru menuju reformasi tahun 1998 terjadi pergumulan hebat di tengah-tengah
kelompok masyarakat yang mengiginkan perubahan total kondisi elite pemerintahan.
Salah satunya adalah kelompok-kelompok mahasiswa yang selalu menjadi pengamat
dan pengkritisi paling tajam di pemerintahan. Tak salah jika dalam bahasa
Samuel Huntington bahwa gerakan mahasiswa merupakan the universal opposition bagi pemerintah. Di dunia kampus jauh-jauh
hari sebelum terjadi keruntuhan rezim orde baru telah ada embrio-embrio
kelompok mahasiswa yang menjadikan masjid - selain sebagai tempat ibadah
tentunya - sebagai basis pergerakan.
Artinya adalah mereka melakukan segala aktivitasnya di masjid bukan hanya
sebagai tempat berda’wah mensyiarkan Islam namun juga sebagai pusat informasi,
bermusyawarah dan berdiskusi, sebagai tempat mempelajari peroalan-persoalan
sosial, ekonomi, dan politik yang sedang berkembang baik nasional maupun
internasional. Gerakan spiritualitas Islam
di dunia kampus – masjid kampus - dimulai pada saat dibangunnya masjid Salman[1] di ITB (Institut Teknoligi Bandung).
di dunia kampus – masjid kampus - dimulai pada saat dibangunnya masjid Salman[1] di ITB (Institut Teknoligi Bandung).
Seiring berjalannya
waktu segala kegiatan mahasiswa di masjid Salman ITB pada tahun 80an yang
digagas oleh Dr. Ir. Imadudin Abdul Rahim, M. Sc mulai menginspirasi
kampus-kampus lain di Indonesia. Sehingga banyak perguruan tinggi pada saat itu
yang mengadopsi karakter gerakan da’wah kampus yang digalakkan di ITB. Karakter
khusus konsep da’wah di masjid Salman adalah adanya pandangan ke-Islaman yang
menyeluruh (syamil), dimana tidak
memisahkan Islam dalam aspek satu dengan yang lainnya dalam hidup ini. Imadudin
mengadopsi pola usrah[2]
dalam menjalankan aktivitas da’wahnya. Pola usrah
ini nampaknya ada keterpengaruhan terhadap konsep tarbiyah gerakan Ikhwanul
Muslimin di Mesir[3].
Mengingat Imadudin aktif dalam berbagai kegiatan da’wah di dalam maupun luar
negeri. Ia pernah menjadi dosen tamu di Malaysia sehingga ada interaksi antara
dirinya dengan gerakan syiar Islam di Malaysia, salah satunya ABIM (Angkatan
Belia Islam Malaysia). Di Malaysia banyak buku karya tokoh-tokoh Ikhwanul
Muslimin yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu. Dari Malaysia inilah kemungkinan Imadudin membawa dan mulai
mengenalkan buku karya para pemikir Ikhwanul Musimin ke Indonesia sebagai
pedoman syiar Islamnya, terutama di lingkungan perguruan tinggi.
Berbagai gerakan
mahasiswa berbasis masjid mulai bermunculan di berbagai perguruan tinggi Indonesia. Hingga akhirnya gerakan da’wah mahasiswa
di kampus berhasil ter-institusionalisasikan dengan nama LDK (Lembaga Dakwah
Kampus). Semisal Jama’ah Shalahudin di UGM, LAI Undip, Jama’ah masjid ARH-UI,
Jama’ah masjid al-Ghifari IPB[4],
Mujahidin IKIP Yogyakarta dan yang lainnya. Kebanyakan aktivitas ke-Islaman di
kampus dilaksanakan program-program mentoring berupa dauroh (training ke-Islaman) dan halaqah-halaqah. Konsep syiar Islam LDK di beberapa kampus
dominannya memiliki kemiripan dari segi karakter dan pemikiran dengan Hasan
al-Banna (pendiri Ikhwanul Muslimin). Kemudian
seiring waktu lahirlah apa yang disebut dengan FSLDK (Forum Silaturahim
Da’wah Kampus)[5]
sebagai wadah koordinasi dan tempat sharing
berbagai lembaga da’wah antar kampus di Indonesia. Sarasehan yang diadakan
FSLDK tiap tahunnya selalu menghasilkan pont-point perlunya kesatuan dan
sinergi dalam langkah da’wah (global).
Starting
point-nya adalah pada saat penyelenggaraan
FSLDK yang ke-10 di Universitas Muhammadiyah Malang sekaligus bertepatan dengan
gejolak situasi ekonomi, sosial dan politik di Indonesia era pemerintahan
Soeharto, munculah gagasan bagaimana manifestasi sikap dan pandangan LDK dalam menghadapi permasalahan bangsa yang sedang
terjadi pada saat itu. Artinya di perlukan wadah tersendiri bagi LDK sebagai
tanggung jawab moral dalam menyikapi krisis bangsa berbagai sektor. Lantas diambil kesepakatan
bahwa melanjutkan pembahasan mengenai hal tersebut di luar forum FSLDK, namun
pada hari itu juga. Setelah dibentuk tim formatur yang terdiri dari 8 anggota
yang mewakili LDK dari beberapa perguruan tinggi, menyepakati dua hal penting
yaitu : Pertama, perlunya wadah
khusus bagi para aktivis LDK – di luar FSLDK ataupun LDK – guna merespon krisis
nasional termasuk pada tataran aksi.
Kedua, sepakat mendeklarasikan wadah baru tersebut setelah selesainya acara
FSLDK, sehingga wadah ini bukan merupakan keputusan FSLDK.
Tim Formatur – terdiri
dari 8 orang perwakilan beberapa LDK - yang telah dibentuk akhirnya berhasil
merumuskan suatu wadah perjuangan bagi aktivis da’wah kampus yang bernama
Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Dengan mekanisme secara
aklamasi, terpilihlah Fahri Hamzah sebagai Ketua Umum dan Haryo Setyoko sebagai
Sekretaris Umum[6].
Wadah ini – KAMMI – dideklarasikan pada hari Ahad, 29 Maret 1998 pada pukul
13.30 di Aula UMM (Universitas Muhammadiyah Malang)[7].
Sehari pasca di deklarasikan di Malang, pada hari senin KAMMI mempublikasikan
kemunculannya dalam sebuah konferensi pers di Masjid Arif Rahman UI Salemba. Penting
dicermati bahwa Fahri Hamzah menyatakan lahirnya KAMMI adalah ide spontan dan
tidak ada dalam kerangka forum FSLDK yang telah terjadwal sebelumnya. Kemudian
satu hal yang tidak kalah penting, benar KAMMI terlahir oleh aktivis da’wah
kampus, namun tidak serta merta ada dukungan formal secara struktural lembaga
oleh LDK terhadap KAMMI.
Ada satu hal yang
menjadi gebrakan KAMMI pada saat itu adalah tiga belas hari setelah di
deklarasikan yaitu pada 10 April 1998, KAMMI menyelenggarkan aksi lapangan
berupa “Rapat Akbar Mahasiswa dan Rakyat Indonesia” di lapangan Masjid
Al-Azhar. Aksi tersebut dihadiri kurang lebih 20 ribu masa, merupakan hal yang
istimewa dan mencengangkan bagi gerakan mahasiswa yang masih sangat dini.[8]
Sehingga banyak pertanyaan sisnis dan kontroversial dibalik segala gerak dan
sikap yang diambil KAMMI. Seperti pertanyaan “Bagaimana mungkin organisasi yang
masih berumur sehari mampu mengeluarkan sikap politik yang solid terhadap pemerintahan
dan menghimpun 60 LDK ?” kemudian “Bagaimana pula dapat menyelenggarakan
aksi-aksi yang besar ditengah strukturalisasi formal organisasi yang masih
belum begitu terdengar ?”. Artinya sempat mencuat opini bahwa ada kekuatan politik
yang mem-back up – aktor besar di
balik layar yang juga menopang dana – lahirnya KAMMI sebagai gerakan mahasiswa
yang semakin memperkeruh gejolak menentang pemerintah. Namun semua pertanyaan
tersebut dijawab dengan bijak oleh Haryo Setyoko selaku Sekertaris Umum saat
itu “KAMMI beranggotakan individu-individu yang punya basis kultur religius,
yang selama 20 tahun aktivitasnya di LDK terus terjadi penguatan-penguatan visi
keagamaan, intelektual, dan juga politik”.
Eskalasi basis gerakan
KAMMI tidak hanya mengalami peningkatan di dalam negeri saja, namun juga di
luar negeri. Sesaat pasca lengsernya Soeharto, tak butuh waktu lama masih di
waktu yang sama Mei 1998 secara membanggakan KAMMI dapat dengan cepat membentuk jaringannya di
luar negeri. Antara lain KAMMI Eropa, KAMMI Amerika Utara-Kanada, KAMMI Jepang,
KAMMI Timur-Tengah, KAMMI Pakistan, dan KAMMI Australia. Perjuangan KAMMI
secara simultan dengan aksi-aksinya di lapangan mampu mengangkat pamor KAMMI
secara signifikan di antara gerakan ekstra kampus yang lain. Tujuh bulan
setelah kelahirannya pada Muktamar I,
KAMMI menjelmakan diri secara resmi menjadi Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas). Begitulah pergerakan aktivis
KAMMI yang bernafaskan da’wah Islam hingga mampu menjadi bagian entitas penting
runtuhnya rezim Orde Baru Soeharto. KAMMI senantiasa mengawal secara tajam
jalannya pemerintahan masa transisi reformasi pada kepemimpinan B. J. Habibie
berlanjut ke Abdurrahaman Wahid kemudian Megawati dan seterusnya. Dimikianlah,
bahwa supremasi manhaj, identitas dan karakter KAMMI semoga akan tetap melekat
sekaligus menjadi pengawas, pengawal dan penggerak dalam kemaslahatan umat bagi
pemerintahan Indonesia ke depan.
Karakter
Kader KAMMI (das
sollen)
Ada image bahwa para aktvis organisasi
adalah mereka yang cenderung abai terhadap tanggung jawab mutlak yang harus
diembannya, yaitu tanggung jawab dalam tataran formal akademis (academic dimension – normative responsibility).
Terlebih realitas di lapangan agaknya semakin mendukung opini tersebut. Baik
disadari ataupun tidak, sering dijumpai para aktivis yang meremehkan aktivitas perkuliahan formal, yang tercermin
dari lamanya waktu mereka menempuh studinya di perguruan tinggi. Banyak alasan
yang dikemukakan, mulai dari pentingnya pengawalan kaderasasi dalam organisasi
oleh senior, masih menikmati fase hidup tanpa tanggungan, terlena dalam domain
gaya hidup generasi muda, sampai dengan merasa eman jika status mahasiswanya terlewatkan dalam waktu singkat. Tak
bermaksud men-generalisir, tentu permasalahan individu berbeda-beda sehingga
ada dimana keadaan memaksa mereka untuk memaksimalkan jatah waktu (semester)
dalam studinya. Namun para aktivis KAMMI seharusnya tidak demikian. Mengingat
eksistensi KAMMI adalah organisasi yang lahir dari gerakan dakwah kampus.
Secara historis sebagaimana sudah dijelaskan sebelumnya bahwa mayoritas –
mungkin juga seluruhnya – kader KAMMI generasi awal adalah merupakan aktivis
dakwah kampus. Para aktivis da’wah kampus - jauh sebelum lahirnya KAMMI - adalah
orang-orang berprestasi secara komprehensif. Semisal Zulkiflimansyah ketua
Senat Mahasiswa UI (1994-1995) sekarang doktor di bidang ekonomi sekaligus
dosen FE-UI, Kamarudin SM-UI (1985-1986), adalah doktor ilmu politik sekaligus
dosen FISIP-UI, Hatta Rajasa (menteri era Presiden SBY) adalah aktivis tulen masjid
Salman ITB serta banyak yang lainnya. Karakter kader KAMMI – seharusnya - mampu
mencerminkan semangat tanggung jawab dalam menjalani dimensi formalitas
pendidikannya, sebagaimana karakter founding
fathers KAMMI dan yang aktivis da’wah meneladankan.
Para aktivis dakwah
pada fase-fase awal pendirian KAMMI adalah mereka yang tidak hanya aktif,
cerdas dan kritis dalam gerakan ekstra kampus namun juga berprestasi secara
akademik. Mereka tidak hanya dikenal saleh dan aktif secara sosial namun juga
memilki IP yang tinggi. Maka ini adalah sebuah karakter individu yang penting
bagi aktivis KAMMI, sehingga bukan hanya pencitraan semata yang terbangun.
Lantas ada pernyataan bahwa prestasi akademik yang baik, IP yang tinggi, dan
waktu studi cepat bukanlah cerminan dari kecerdasan apalagi menjamin
keberhasilan seseorang di masa depan. Namun satu hal yang pasti bahwa mereka
mengejawantahkan rasa syukur melalui keseriusan dalam studinya. Satu hal lagi
yang menjadi ciri khas kader KAMMI adalah mereka senantiasa – setidaknya minim
terjadi kekacauan – saat melakukan aksi-aksi lapangan (demonstrasi) secara
tertib dan damai. Pada saat berunjuk rasa melengserkan Soeharto 19 Mei 1998 di
Monas, para aktivis KAMMI menggunakan slogan “Reformasi Damai”. Malam hari
sebelum unjuk rasa pada waktu itu, mereka melakukan qiyamul lail, do’a bersama, kemudian sholat subuh berjama’ah dan
bergerak ke lapangan secara sepakat mereka senantiasa mengumandangkan kalimat
takbir, tahmid, dan tahlil. Terlebih The Jakarta Post pernah dalam sebuah
pemberitaannya memberikan penilaian, bahwa aksi-aksi KAMMI senantiasa dilakukan
secara damai, tertib, dan rasional dalam agenda-agenda reformasinya. Sehingga
kader KAMMI adalah individu yang tidak hanya mencerminkan sebagai generasi intelektual
namun juga bermoral, berakhlak baik sekaligus berprestasi akademik. Wallahu a’lam bishowab
“Generasi
muda pada setiap bangsa merupakan tiang kebangkitan, pada setiap kebangkitan,
mereka adalah rahasianya, dan pada setiap gagasan, mereka adalah para pembawa
benderanya”.(Hasan al-Banna)
“Ya Allah, Engkau mengetahui
bahwa hati-hati ini telah berhimpun dalam cinta pada-Mu, telah berjumpa dalam ketaatan
pada Mu, maka kokohkanlah. Ya Allah ikatkanlah, kekalkanlah cintanya.” (Sayyid
Quthb).
[1] Pemberian nama masjid Salman diberikan oleh Bung Karno, mengacu pada
salah satu sahabat Rasulullah saw yaitu Salman al- Farisi, yang dianggap Bung
Karno sebagai representasi kecerdasan dan kecerdikan.
[2] Usrah adalah
kelompok-kelompok kecil pembinaan yang terdiri dari beberapa orang dengan
seorang guru.
[3] Usrah dalam konteks Ikhwanul Muslimin diartikan sebagai “Perisai
perlindungan yang kokoh bagi setiap anggotanya”.
[4] Maraknya kegiatan da’wah Islam dan iklim karakter Islam yang tercermin
dalam identitas berpakaian terutama
perempuan (akhwat) di IPB pada saat itu atau (menurut penulis) mungkin masih
hingga saat ini, sehingga IPB sering disebut Institut Pesantren Bogor.
[5] Meskipun diadakan sarasehan pertama kali pada tahun 1986, namun
penyebutan istilah FSLDK baru secara resmi pada pertemuan yang ketiga September
1987 dan menggunakan logo mirip kata “Allah” berwarna dominan hijau.
[6] Fahri Hamzah pada saat itu adalah aktivis LDK UI dan berstatus
mahasiswa S-2 UI, kemudian Haryo Setyoko adalah aktivis LDK UGM yang juga Ketua
BEM UGM. Penunjukkan keduanya dengan alasan memiliki track-record yang mumpuni di LDK dan memiliki kapabilitas untuk
tampil dalam gerakan ekstra kampus.
[7] Muncul opini bahwa penandatangan “Piagam Deklarasi Malang” yang
dilakukan oleh sebagian besar peserta FSLDK adalah tidak mewakili LDK di
perguruan tinggi masing-masing tetapi representasi perorangan.
[8]
Satu hal yang perlu dicermati bahwa sejak pertengahan 1997 hingga maret 1998
aksi-aksi demonstrasi mahasiswa baik yang dilakukan Senat Mahasiswa maupun
Komite-Komite Aksi pada umumnya dihadiri hanya ratusan mahasiswa.
0 komentar:
Posting Komentar